Mesir Membara
Revolusi Mesir Bukan Revolusi Islam
Jakarta - Revolusi rakyat menuntut perubahan di Mesir, Yaman, Marokko, Yordan, Aljazair dan kawasan Timur Tengah lainnya, adalah revolusi yang menuntut pangan yang murah, pemberantasan KKN, demokratisasi dan keadilan bukan seperti revolusi Islam seperti di Iran.
Kawasan Timteng belakangan ini sedang dilanda badai yang besar. Inilah yang mendorong para demonstran turun ke jalan-jalan di Tunisia, Kairo, Sanaa, Marokko dan kota-kota di seluruh kawasan Timteng. Status quo jelas tidak bisa dipertahankan.
Revolusi di Mesir dan Timteng bukan revolusi Islam oleh Ikhwanul Muslimin, melainkan gerakan intelektual, mahasiswa dan rakyat yang muak terhadap korupsi, kebohongan dan ketidakadilan.
Ketua program pasca-sarjana Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Prof Dr Zainuddin Djafar menyatakan revolusi di Mesir, Tunisia dan lainnya bukan revolusi ideologi seperti di Iran.
“Gerakan yang dimotori kaum muda dan intelektual di kawasan Timur Tengah itu lahir karena KKN, ketidakadilan dan kemiskinan yang luar biasa,” paparnya. Kondisi ini diperparah dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam akibat kenaikan harga pangan dunia.
Karena bukan revolusi ideologis, maka perubahan di Mesir tidak seradikal di Iran sehingga Presiden Hosni Mubarak bisa ‘buying time’, menunda kejatuhannya melalui transisi politik, meski korban berjatuhan.
Mubarak melakukan ‘buying time’ dengan dukungan AS, agar tidak dipaksa mundur atau lari ke luar negeri seperti jatuhnya Presiden Ben Ali di Tunisia. Mubarak mencoba menempatkan orang-orangnya di posisi elite kekuasaan sebagai cara untuk menjadikannya tangga untuk turun dari kekuasaan.
Sudah lebih 200 orang tewas dan lebih 200 orang luka-luka dalam revolusi rakyat di Mesir, yang berampak ke kawasan Timur Tengah lainnya. Namun posisi Mubarak sebenarnya sudah di ujung tanduk dan hanya soal waktu dia rubuh. [mdr](INILAH.COM)