Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak.

Putusan itu berlaku pada Pilpres 2019.

"Mengabulkan permohonan pemohon," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014).

Pasal yang diajukan, yakni Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112.
Sabtu, 25 Januari 2014

Gugatan UU Pilpres Dikabulkan, Pemilu Serentak 2019
Dengan dikabulkannya gugatan ini, penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 dan seterusnya akan digelar serentak sehingga tak ada presidential threshold untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Pileg dan Pilpres 2014 tetap dilaksanakan terpisah.

Mahkamah berpendapat, putusan ini tidak dapat diterapkan untuk 2014 karena pemilu yang sudah terjadwal.

Permohonan yang diajukan Effendi ini sempat menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan karena efeknya yang dinilai akan berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemilu. Terlebih lagi, waktu penyelenggaraan pemilu legislatif tinggal tersisa sekitar dua bulan lagi.

Permohonan ini juga membutuhkan waktu satu tahun lebih untuk dikabulkan oleh MK. Effendi dan koalisi sudah mengajukan permohonan ini sejak Januari 2013 lalu.

Namun, setelah beberapa kali disidangkan, sidang putusan tak kunjung digelar. Padahal, mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan, MK telah memutuskan hasil gugatan UU Pilpres itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Putusan kemudian baru dibacakan sore ini.

Pada Desember 2013, calon presiden dari Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan serupa. Pakar hukum tata negara itu menguji Pasal 3 Ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112.


Tuding Pemilu 2014 Inkonstitusional, Yusril Bakal Tak "Nyapres"

Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pemilu serentak baru akan dilaksanakan pada 2019. Yusril pun mempertimbangkan untuk menarik diri dari bursa calon Presiden pada Pemilu 2014.

“Saya akan mempertimbangkan dulu. Bisa jadi hasil pemilihan tahun 2014 ini tidak legitimate. Kalau sudah begitu, buat apa kita ikut dalam pemilihan yang tidak legitimate seperti itu? Terserah kalau yang lain masih ingin mengejar kekuasaan. Bagi saya, tidak,” ujar Yusril saat dihubungi, Jumat (24/1/2014).

Yusril menjelaskan, putusan pengadilan seharusnya berlaku semenjak dibacakan, demikian pula dengan putusan MK. Penundaan pelaksanaan putusan, menurutnya, akan menyebabkan kevakuman hukum.

Dia menyoroti putusan MK yang menyatakan bahwa sebagian pasal dalam Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Keputusani ini harus dijalankan saat itu juga.

Jika Pemilu 2014 tetap menggunakan UU Pilpres yang lama, Yusril menilai hasil dari pemilu nantinya akan dianggap inkonstitusional. Dia yakin akan ada masyarakat yang akan menggugat hasil pemilu 2014.

Saat ditanyakan apakah dirinya akan menggugat hasil pemilu 2014 nantinya, Yusril pesimistis. Menurut Yusril, MK telah melakukan kesalahan besar dalam putusan pemilu serentak di 2019. Dengan demikian, dia tak lagi percaya MK bisa memberikan putusan yang adil jika dirinya menggugat hasil pemilu 2014. “Yang sidang juga dia-dia lagi, yang buat keputusan blunder seperti sekarang. Kacau balau memang negeri ini,” ujar Yusril.

Selain mempertimbangkan mundur dari bursa calon Presiden dari PBB, Yusril juga mempertimbangkan untuk mencabut permohonannya. Dia mengaku kecewa dengan putusan MK yang lebih bersifat politis. Dia merasa keputusan pemilu serentak yang ditundah tahun 2019 akan memberikan keuntungan bagi partai-partai besar.

“Yang maju menjadi Presiden nanti paling hanya Megawati, pemenang konvensi Demokrat, dan Partai Golkar. Hasilnya akan itu-itu saja,” kata Yusril.


Pemilu Serentak 2019, MK Rampas Hak Konstitusional Rakyat Selama 5 Tahun

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Ghazali dianggap langgar hak konstitusional warga negara. MK mengabulkan permohonan Effendi tersebut, tetapi penerapan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019.

"Harusnya jika MK mengabulkan putusan ini, harus langsung diterapkan saat itu juga. Kalau baru diterapkan 2019, itu artinya MK merampas hak konstitusional rakyat selama 5 tahun," kata anggota koalisi masyarakat sipil, Fadjroel Rachman, di Jakarta, Kamis (23/1/2014).

"Sama saja dengan orang punya agama dan keyakinan tapi ditunda. Kamu beragamanya 5 tahun lagi saja, mau enggak?" lanjut Fadjroel.

Fadjroel juga mempertanyakan amar putusan MK bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 sudah sangat dekat dan terjadwal. Padahal, berdasarkan pernyataan mantan Ketua MK Mahfud MD, permohonan tersebut telah diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada Maret 2013 saat dia masih menjabat. Dalam amar putusan yang dibuat MK, juga tertera tanggal pelaksanaan RPH tersebut, yakni 26 Maret 2013.

"Kalau ini diputuskan 10 bulan lalu, ada kesempatan untuk memperbaiki. Kenapa harus ditunda sepuluh bulan. Ada apa gerangan. Apakah ada kepentingan tertentu?" ujarnya. Kendati demikian, dia menolak mengatakan bahwa hakim MK diintervensi. Dia hanya merasa terdapat sesuatu yang janggal dan patut dipertanyakan dalam putusan ini. (kcm)
      Berita Nasional :