Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Jakarta - Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming mengaku geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan putusan bebas murni Prita Mulyasari. Menurutnya, julukan 'Benteng Terakhir Keadilan' yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh.
Senin, 11 Juli 2011
Kalahkan Prita, MA Sebagai Benteng Terakhir Keadilan Runtuh
"Saya sebagaimana para pencari keadilan lainnya merasa geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung tersebut yang justru menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan. Dengan putusan seperti itu, maka julukan 'Benteng Terakhir Keadilan' yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh dan porak poranda," kata Saharuddin dalam rilisnya, Minggu (10/7/2011).

Runtuhnya julukan MA tersebut, lanjut Saharuddin, disebabkan oleh fungsionaris MA sendiri yang cenderung menerapkan hukum dan keadilan seperti pisau tajam ke bawah dan ke depan tetapi tumpul ke samping, ke belakang dan ke atas.
Menurutnya, di tengah-tengah miskinnya produk yudikatif yang merefleksikan 'Juctice Value and Sense of Law', MA sebagai puncak peradilan di Indonesia kembali mengoyak perasaan keadilan masyarakat. Hal itu didasarkan atas putusan MA yang menjatuhkan pidana pada Prita sebagai pelaku pencemaran nama baik RS Omni International.

"Meski berbagai pihak termasuk Komnas HAM telah memberi rekomendasi bahwa apa yang dilakukan Prita terhadap RS Omni adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM jo UU No 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil. Putusan MA tersebut sudah jelas-jelas melanggar HAM dan menjungkirbalikkan hukum dan keadilan," ujarnya.

Komnas HAM bertekad akan melaporkan kasus tersebut ke Special Reporteur PBB Frank LA, yang rencananya akan datang ke Indonesia. Saharuddin juga mendorong Komisi Yudisial dan Yudicial Watch, agar mengusut tuntas oknum hakim agung yang memutus perkara ini.

"Bahkan jika perlu, DPR menggunakan hak inisiatif membuat UU anti kesewenang-wenangan peradilan, kalau ada gerakan untuk boikot pengadilan dan MA, saya pun mendukung. Demi membersihkan benteng keadilan dari mafia pengadilan," tutup Saharuddin.


Adnan Buyung Sesalkan Kasasi Kasus Prita

Advokat senior Adnan Buyung Nasution menyalahkan Kejaksaan Agung atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Prita Mulyasari bersalah mencemarkan nama baik RS Omni Tangerang. Menurutnya, perkara pidana Prita seharusnya gugur, karena perkara perdatanya sudah divonis bebas.

"Yang paling saya sesalkan itu adalah Kejaksaan Agung karena perdatanya sudah bebas, kenapa pidananya masih bisa dilanjutkan kasasi?" gugat Buyung.

Hal itu disampaikan di sela-sela jumpa pers 'Tolak Pengesahan RUU Intelejen negara dan Rombak RUU Keamanan Nasional', di Arya Duta Hotel, Jl Prapatan, Jakarta Pusat, Minggu (10/7/2011).

Menurutnya, hukum bersifat normatif yang artinya memiliki satu norma. Apabila perkara perdata sudah gugur maka secara otomatis perkara pidana juga ikut gugur.

"Saya tidak mengerti logika dari Kejaksaan Agung. Saya menyesalkan kepemimpinan Hendarman (Jaksa Agung saat kasus Prita bergulir-red)," imbuhnya.

MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah telah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni International, Alam Sutera, Tangerang. Curhat Prita lewat email, dianggap sebagai sumber pencemaran nama baik.

Padahal, pada 29 Desember 2009 silam, majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari dari tuntutan jaksa 6 bulan penjara. Alasan utama membebaskan Prita karena unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti. Apakah artinya kini Prita harus menjalani vonis 6 bulan? Hal itu belum jelas benar.

Ketua majelis hakim Arthur Hangewa saat itu menilai, unsur pencemaran nama baik yang didakwakan jaksa kepada Prita, dinilai tidak tepat. Sebab, kata Arthur, email yang dikirim Prita yang kemudian menjadi dasar pengaduan pencemaran nama baik oleh RS Omni hanyalah surat keluhan seorang pasien saja.

Namun rupanya kini MA memenangkan jaksa di tingkat Kasasi. Padahal, untuk kasus perdatanya, MA memenangkan perdata Prita melawan RS Omni.

Dengan keluarnya vonis perdata tersebut, Prita dibebaskan dari seluruh kewajiban membayar ganti rugi. Hakim Pengadilan Tinggi Banten sebelumnya mewajibkan Prita membayar uang denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni. Kasus Prita menjadi keprihatinan publik sehingga melahirkan gerakan Koin untuk Prita dan berhasil mengumpulkan uang senilai Rp 800 juta. (feb/nwk)(detikNews)
Prita Mulyasari
      Berita Nasional :