Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Jakarta - Sedikitnya 155 orang mantan bupati/walikota atau gubernur telah masuk penjara. Sebagian besar karena melakukan korupsi dalam menjalankan pemerintahan.

Sementara kalangan DPR dan badan anggaran di parlemen, tak luput dari kasus KKN serupa. Inilah dampaknya jika belanja politik sangat besar, yang akibatnya banyak politisi melakukan korupsi dan masuk bui.
Rabu, 12 Oktober 2011

Biaya Politik Tinggi Picu Korupsi Menggila
Dalam era reformasi ini belanja politik besarnya luar biasa, hal ini termasuk dalam pemilihan kepala daerah baik untuk tingkat bupati/walikota atau gubernur. Hal-hal seperti ini menjadi tantangan gerakan kaum prodemokrasi dan politisi.

Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan 155 mantan bupati dan gubernur dipenjara akibat korupsi politik untuk menutup biaya politik mereka dalam pilkada.

Di luar korupsi politik oleh mantan gubernur/bupati.walikota, salah satu sarang korupsi adalah DPR. Kini mafia anggaran di DPR sedikit demi sedikit mulai terkuak. Badan Anggaran (Banggar) dituding menggelembungkan (mark-up) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011.

Berdasarkan temuan Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), penggelembungan itu dilakukan saat pengajuan RAPBN oleh pemerintah. "Ada kecenderungan DPR memberi persetujuan nilai anggaran lebih besar daripada yang diajukan pemerintah," kata Koordinator Formappi Sebastian Salang di Jakarta, kemarin.

Di samping itu, menurut Koordinator Formappi Bidang Anggaran I Made Leo Wiratma, ada celah lain yang rawan disalahgunakan pemerintah dan DPR, yaitu pos pendapatan dan hibah. Misalnya, dalam RAPBN, pemerintah mengajukan Rp1.086,4 triliun, DPR menyetujui Rp1.104,9 triliun. Artinya, kata Made, ada penambahan Rp18,5 triliun yang bisa digarong oleh politisi korup dan kalangan terkait.

Kemudian pada pos dana penyesuaian, Made menduga terjadi duplikasi anggaran yang telah diatur dalam dana alokasi khusus (DAK). Dalam dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang mencapai Rp7,7 triliun itu ada 19 item yang sama seperti di anggaran DAK. Semua itu menjadi sumber kerawanan korupsi baru.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempelajari 21 transaksi mencurigakan yang melibatkan sejumlah anggota banggar. Transaksi itu atas laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Di sini makin jelas, dugaan maraknya korupsi politik terkait dengan biaya politik yang kian mahal, yang mengancam demokrasi menjadi sekadar demokrasi prosedural dan kriminal.
[mdr](inilah)
Kampanye Parpol

      Berita Nasional :