Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Jakarta - Perang melawan teror ikut disuarakan Indonesia setelah negara ini turut dibombardir teroris. Namun sikap pemerintah yang beda perlakuan dalam menangani Ponpes Umar Bin Khatab dan Ponpes Al Zaytun dipertanyakan.

"Ada yang tidak adil dari sikap pemerintah khususnya kebijakan yang mengatasnamakan 'perang anti teror'. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang tampaknya hanya dipakai untuk pencitraan ini, menimbulkan luka hati umat Islam," kata Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/7/2011) malam.
Sabtu, 16/07/2011
Aneh, Pemerintah Obok-obok Ponpes Bima Tapi Takut Terobos Al Zaytun
Penyisiran Pondok Pesantren Khilafiah Umar bin Khatab Bima NTB (ANTARA)

Ada 3 poin menurut Mustofa yang membuatnya menilai pemerintah tidak adil. Pertama, pemerintah telah mem-blow up sedemikian rupa kasus Ma'had Al Zaytun selama ini dengan berbagai cerita heroik dan pencitraan. Petinggi Ma'had Al Zaytun, Panji Gumilang beserta lembaganya telah menerima stigma negatif dari propaganda pemerintah soal Islam Radikal. Anehnya, hingga saat ini, pemerintah tak berani melakukan tindakan tegas terhadap Ma'had Al Zaytun.

Kedua, jika polisi dan Densus 88 beberapa hari lalu nekat dan berani menerobos dan mengobok-obok Pondok Pesantren Umar Bin Khatab di Bima, NTB, maka ada satu pertanyaan yang diusung Mustofa yakni, mengapa polisi tidak berani melakukan hal yang sama kepada Ma'had Al Zaytun. Kalau memang pemerintah adil, imbuh dia, semestinya pondok pesantren semacam Ma'had Al Zaytun dijadikan proyek pertama membersihkan radikalisme yang mengatasnamakan Islam.

"Keberanian polisi mengobrak-abrik dan menangkapi santri di Bima, patut diacungi jempol. Namun ketakutan polisi menerobos Ma'had Al Zaytun, patut dituduh sebagai tindakan pecundang," sambungnya.

Apalagi, imbuh dia, korban yang diakibatkan oleh Pesantren Bima hanya 1 polisi, dan ini pun belum pasti penyebab utamanya. Sebaliknya, dampak yang diakibatkan Ma'had Al Zaytun mungkin ribuan orang generasi muda -apabila memang justifikasi selama ini benar soal adanya NII KW 9 di Ma'had Al Zaytun.

"Sayangnya, pemerintah tak sensitif soal ini," ucap Mustofa.

Ketiga, pemerintah dianggap tidak adil soal responsibilitas kasus agama. Tahun 2009, ketika Budha Bar diprotes pendiriannya di Jalan Teuku Umar di Menteng, pemerintah buru-buru menutup kafe yang di dalamnya terdapat patung Budha. Dengan alasan menyakiti pemeluk Budha, pemerintah segera 'menghabisi' sejarah Budha Bar di awal berdirinya.

"Tindakan pemerintah sangat cepat dan responsibilitasnya sungguh mengagumkan. Anehnya, terhadap persoalan terorisme, Ahmadiyah, Ma'had Al Zaytun, tiba-tiba pemerintah bersikap lelet," tutur Mustofa.

Dia menduga, pemerintah sengaja melakukan pergerakan lambat untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. Mustofa menengarai hal ini terjadi karena berbagai pertimbangan.

"Salah satunya, pemerintah mungkin telah menjadi kaki tangan kepentingan asing yang tidak suka dengan kerukunan umat di Indonesia. Terbukti, berbagai kasus yang menyangkut kepentingan Islam, pemerintah bertindak aneh dan menjengkelkan. Negara mana yang mengendalikan pemerintah Indonesia? Nanti akan terjawab," kata Mustofa. (vit/mad)(detikNews)
      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :