Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Sejumlah tokoh yang risau dengan kekejaman legislasi mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang belum lama ini direvisi Dewan Perwakilan Rakyat. Di antara perkara yang merisaukan, larangan ultra petita--memutuskan perkara di luar yang dimohonkan--dianggap yang paling aneh.

Selain itu, ketentuan baru tentang Majelis Kehormatan yang juga harus melibatkan anggota DPR di dalamnya menimbulkan pertanyaan. Apa relevansi anggota DPR duduk di Majelis Kehormatan MK? Kehadiran anggota DPR dalam majelis dianggap sebagai perkuatan jejaring kepentingan politik yang cenderung parsial, partisan, dan pragmatis.

Ada lagi ketentuan teknis yang dianggap menghambat kerja MK, semisal keharusan sidang MK dihadiri DPR dan wakil pemerintah. Dalam praktik, pemerintah dan DPR paling malas mengirim wakil. Kalau ada, yang dikirim pejabat-pejabat dari biro hukum dan humas.

Revisi UU No 24/2003 tentang MK, yang akhirnya mengundang perlawanan dari sejumlah tokoh yang mengerti hukum, mengonfirmasi sekali lagi bahwa mindset para pembuat undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR, ialah pada kepentingan jangka pendek dan politis. Tidak pada kepentingan substansial bangsa tentang keadilan dan kebenaran.

Karena kepentingan politik ialah kekuasaan yang berganti setiap lima tahun, orientasi legislasi disemangati selera jangka pendek. Kepentingan jangka panjang anggota DPR ialah bagaimana memenangi kursi parlemen dalam pemilu berikutnya.

Para anggota DPR yang terhormat paham betul bahwa hak yang melekat pada hakim ialah memutuskan perkara dan mengubah ketetapan. Larangan ultra petita dengan demikian mengebiri hak hakim yang paling fundamental.

Adalah amat berbahaya ketika dengan larangan itu hak hakim dalam memutuskan keadilan dan kebenaran dikendalikan atau dirampas oleh DPR. Padahal, DPR ialah pembuat undang-undang, bukan yang memutuskan perkara.

Bila ultra petita dilarang, akan terjadi kekosongan hukum manakala MK membatalkan sebuah pasal undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. DPR dan pemerintah tidak bisa serta-merta melahirkan ketentuan baru yang dibatalkan itu.

Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review untuk memberi pelajaran kepada DPR agar tidak serampangan meloloskan pasal-pasal sesat. Sebuah undang-undang harus mengatur soal-soal fundamental tentang keadilan dan kebenaran yang diperintahkan konstitusi. Bukan sekadar menjaga kepentingan politik jangka pendek para politikus. (RED/MICOM)
Minggu, 07 Agustus 2011
Membongkar Borgol Undang-Undang MK
OPINI
      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :