Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta – Pemerintah merampungkan pembahasan Peraturan Pemerintah tentang Biaya Pencatatan Nikah, Jumat 7 Februari 2014.

PP ini disusun sebagai respons pemerintah atas keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi yang akhir tahun lalu menyatakan semua penerimaan honor di luar biaya nikah resmi sebagai gratifikasi.
Sabtu, 8 Februari 2014

Orang Miskin Kini Gratis Biaya Nikah
“Timbul keresahan terkait gratifikasi itu. Tanpa payung hukum, memberi uang pengganti transportasi bagi penghulu bisa masuk kategori gratifikasi,” kata Deputi IV Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agus Sartono, usai rapat finalisasi PP Biaya Pencatatan Nikah antara Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di kantor Kemenkokesra, Jakarta.

Para penghulu pun sempat resah. Akhir Desember 2013, sejumlah penghulu dari berbagai daerah menemui Menteri Agama Suryadharma Ali, mendesaknya mengeluarkan regulasi biaya nikah untuk KUA. Jika biaya transportasi dari mempelai juga disebut gratifikasi, maka para penghulu menghadapi kesulitan besar karena biaya operasional KUA hanya Rp2 juta per bulan.

Padahal para petugas KUA lebih banyak menikahkan pasangan di luar jam kerja. “Masyarakat yang hendak menikah harus dilayani di hari libur, di rumah mereka, meski lokasinya jauh. Di daerah seperti Riau misalnya, petugas KUA harus menyeberang laut, naik kapal motor kecil saat ombak besar. Itu taruhannya nyawa,” ujar Agus.

Meski biaya menikah di KUA jauh lebih murah, namun faktanya mayoritas warga ingin menikah di luar KUA. “Menurut penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama tahun 2013, 94 persen pasangan minta dinikahkan di luar KUA, misalnya di rumah, masjid, atau gedung. Mereka tidak mau menikah di KUA. Ini juga terkait faktor budaya,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abdul Jamil.

Kini dengan PP Biaya Pencatatan Nikah sebagai payung hukum, petugas KUA bisa terhindar dari masalah hukum karena biaya nikah telah dilegalisasi. Sebaliknya, masyarakat pun diuntungkan karena ada standardisasi biaya nikah untuk mereka. Petugas KUA tidak diperkenankan menerima uang di luar biaya yang telah ditentukan pemerintah. Jika membandel, mereka akan menghadapi proses hukum.

Rp600 ribu di luar KUA

Berdasarkan PP Biaya Pencatatan Nikah, pasangan yang menikah di KUA pada hari kerja akan dibebankan biaya Rp50 ribu – naik dari Rp30 ribu yang berlaku selama ini. Sementara pasangan yang menikah di luar KUA dan di luar jam kerja dibebankan biaya Rp600 ribu.

Semua biaya itu masuk kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak, tak langsung masuk kantong petugas KUA pencatat nikah. Dari uang yang disetorkan itu, 80 persen dapat digunakan oleh Kementerian Agama untuk biaya transportasi penghulu sesuai aturan dalam PP Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif PNBP yang Berlaku pada Departemen Agama.

“Dengan adanya standardisasi tarif ini, kewajiban penghulu melayani masyarakat terpenuhi, biaya operasional juga terpenuhi,” ujar Agus.

PP Biaya Pencatatan Nikah juga memberikan kabar baik bagi warga miskin. KUA tak memungut biaya alias gratis bagi orang miskin yang hendak menikah. “Miskin di sini secara ekonomi. Soal ini nanti akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama,” kata Agus.

Selanjutnya, PP Biaya Pencatatan Nikah yang telah disepakati ini akan diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Setelah proses harmonisasi rampung, draf PP akan diserahkan ke Sekretariat Negara untuk ditandatangai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. PP ini ditargetkan sah pada akhir Februari ini.

Kementerian Agama berharap PP ini membuat lembaga mereka kian transparan. “Selama ini pun, petugas KUA yang terbukti menerima pungutan liar kami bebas tugaskan. Apalagi setelah PP diberlakukan, kami harap tidak ada lagi petugas KUA yang menerima gratifikasi. Dengan demikian KUA bisa bersih dari korupsi,” kata Inspektur Jenderal Kemenag yang juga mantan Wakil Ketua KPK, M Jasin.

Kepala KUA dipenjara

Soal biaya nikah ini pernah membuat Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri dijebloskan ke penjara karena diduga menerima kelebihan biaya nikah. Atas kasus tersebut, Forum Komunikasi Kepala KUA se-Jawa Timur menolak menikahkan pasangan di luar KUA.

Peristiwa itulah yang membuat KPK menggelar rapat koordinasi dengan Kementerian Agama, Kemenko Kesra, Bappenas, dan menghasilkan keputusan: semua penerimaan honor di luar biaya nikah resmi adalah gratifikasi.

Namun KPK sadar, para penghulu dan petugas KUA menerima gratifikasi karena keterbatasan anggaran operasional KUA. Dana Rp2 juta per bulan bahkan tak cukup untuk menutupi ongkos transportasi petugas pencatat nikah. Belum lagi mayoritas KUA tak punya kendaraan dinas bagi para petugasnya.

“Oleh sebab itu biaya operasional pencatatan nikah di luar KUA atau di luar jam kerja dibebankan kepada APBN. Petugas KUA tidak boleh lagi menerima dari pihak yang menikahkan, kecuali dari sumber resmi, kata Direktur Pengendalian Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono.

PP Biaya Pencatatan Nikah yang kini disepakati pemerintah, merupakan jawaban dan solusi atas persoalan tersebut. Pencatatan nikah bertujuan untuk melindungi warga negara. Dengan demikian, bisa diketahui status seorang mempelai, apakah dia jejaka atau duda. (viva)
      Berita Nasional :

ilustrasi