Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2015 @ majalahbuser.com
Jakarta - Nilai tukal rupiah semakin melemah di pembukaan perdagangan pada awal pekan terakhir bulan ini.

Di pasar spot antarbank, hari ini, Senin 24 Agustus 2015, rupiah terus melemah setelah tembus di atas Rp14.000 per dolar Amerika Serikat, sejak akhir pekan lalu.
Senin, 24 Agustus 2015

Dolar Tembus Rp14.000, Pelemahan Rupiah Terus Terjadi
Dikutip dari situs resmi Bank Central Asia, US$1 dijual Rp14.150, harga beli yang dipatok, yaitu Rp13.850 per dolar AS. Kurs tersebut, berlaku untuk transaksi valuta asing (valas) yang dilakukan langsung di counter kantor BCA.

Sementara itu, transaksi yang menggunakan e-Channel, dolar AS dijual Rp14.030 per dolar AS, dan harga beli dipatok Rp13.970 per dolar AS. Sedangkan, transaksi yang menggunakan Bank Notes, dolar dijual Rp14.120 per dolar dan bank membelinya dengan harga Rp13.820 per dolar.

Tidak hanya di bank swasta, berdasarkan situs resmi Bank Mandiri, dolar AS yang pada pekan lalu dijual masih sekitar Rp13.900, hari ini dibanderol Rp14.082 per dolar AS. Harga beli yang dipatok Mandiri, yaitu Rp13.868 per dolar AS.

Bank Negara Indonesia (BNI) mematok lebih rendah dolar yang dijual, yaitu Rp14.075 per dolar AS. Untuk pembelian dolar, bank tersebut mematoknya lebih tinggi ketimbang Bank Mandiri yaitu di kisaran Rp13.925 per dolar AS.

Meskipun sudah diperdagangkan di level Rp14.000 per dolar AS, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI, rupiah masih dipatok Rp13.998 per dolar AS. Melemah dari perdagangan akhir pekan lalu yang dijual Rp13.895 per dolar AS.


Apindo: Kami Hanya Bisa Bertahan

Terdepresiasinya rupiah dalam beberapa pekan terakhir hingga hari ini diperdagangkan tembus lebih dari Rp14.000 per dolar AS, menyebabkan sejumlah kalangan pengusaha mengalami kerugian yang cukup signifikan.

Industri seperti tertampar di dua sisi, karena peningkatan biaya produksi terjadi melebihi batas modal, sementara penurunan daya beli masyarakat terhadap produk industri akibat pelemahan ekonomi sudah mulai terasa.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani mengungkapkan hal tersebut. Dia menjelaskan, hampir semua sektor industri, khususnya di bidang manufaktur yang notabennya padat karya, terkena imbas efek dari lemahnya mata uang rupiah.

"Dari penjualan sendiri banyak yang drop. Properti mereka terpukul sekali. Otomotif juga sudah mengoreksi target penjualannya," kata Haryadi beberapa waktu lalu.

Dengan kondisi seperti ini seharusnya pemerintah terus menggenjot sektor industri dalam negeri. Sehingga dapat menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi yang bisa diandalkan.

"Saat ini kami hanya bisa menahan (produksi), supaya pertumbuhan kami bisa balik lagi. Kalau pertumbuhannya melambat terus, ada kemungkinan akan terdepresiasi lagi. Kalau kami genjot dari domestik, sebenarnya lumayan menolong," ujar dia.

Hingga saat ini menurutnya, belum ada langkah konkret pemerintah untuk serius menggenjot industri dalam negeri. Upaya yang dilakukan hanya sebatas retorika semata.

"Ini sudah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak industri manufaktur yang tutup, sekarang kita harus merubah kondisi ini," katanya.

Haryadi berharap, pemerintah lebih kreatif dalam mengembangkan industri nasional. Sehingga semua sektor potensial dapat dikembangkan dengan baik.

"Industri padat karya ada potensi untuk berkembang. Itu kan bagus dan sangat mungkin untuk kita garap. Industri kreatif juga. Ekspor tidak melulu cuma barang. Jasa pun punya andil. Maksud saya, dari segala lini harus didorong," katanya. (viva)
ilustrasi
      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :